Gastritis berasal dari kata gaster yang artinya lambung dan itis yang berarti inflamasi/peradangan. Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 127), gastritis
adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung, yang
berkembang bila mekanisme protektif mukosa dipenuhi dengan bakteri atau
bahan iritan lain. Secara
hispatologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel.
Sedangkan, menurut Lindseth dalam Prince (2005: 422), gastritis adalah
suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung yang dapat
bersifat akut, kronis, difus, atau lokal.
Gastritis
adalah suatu peradangan mukosa lambung paling sering diakibatkan oleh
ketidakteraturan diet, misalnya makan terlalu banyak dan cepat atau
makan makanan yang terlalu berbumbu atau terinfeksi oleh penyebab yang
lain seperti alkohol, aspirin, refluks empedu atau terapi radiasi
(Brunner, 2000 : 187).
Dari
defenisi-defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa gastritis adalah
suatu peradangan atau perdarahan pada mukosa lambung yang disebabkan
oleh faktor iritasi, infeksi, dan ketidakteraturan dalam pola makan,
misalnya telat makan, makan terlalu banyak, cepat, makan makanan yang
terlalu banyak bumbu dan pedas. Hal tersebut dapat menyebabkan
terjadinya gastritis.
Gastritis Akut
Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya bersifat jinak dan sembuh sempurna (Prince, 2005: 422). Gastritis akut terjadi akibat respons mukosa lambung terhadap berbagai iritan lokal. Inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian besar kasus merupakan penyakit yang ringan. Bentuk
terberat dari gastritis akut disebabkan oleh mencerna asam atau alkali
kuat, yang dapat menyebabkan mukosa menjadi ganggren atau perforasi.
Pembentukan jaringan parut dapat terjadi yang mengakibatkan obstruksi
pylorus (Brunner, 2000).Salah
satu bentuk gastritis akut yang manifestasi klinisnya dapat berbentuk
penyakit yang berat adalah gastritis erosif atau gastritis hemoragik.
Disebut gastritis hemoragik karena pada penyakit ini akan dijumpai
perdarahan mukosa lambung dalam berbagai derajat dan terjadi drosi yang
berarti hilangnya kontinuitas mukosa lambung pada beberapa tempat,
menyertai inflamasi pada mukosa lambung tersebut .
Fisiologi Lambung
Lambung
merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berbentuk seperti
kantung, dapat berdilatasi, dan berfungsi mencerna makanan dibantu oleh
asam klorida (HCl) dan enzim-enzim seperti pepsin, renin, dan lipase.
Lambung memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi pencernaan dan fungsi
motorik. Sebagai
fungsi pencernaan dan sekresi, yaitu pencernaan protein oleh pepsin dan
HCl, sintesis dan pelepasan gastrin yang dipengaruhi oleh protein yang
dimakan, sekresi mukus yang membentuk selubung dan melindungi lambung
serta sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah diangkut, sekresi
bikarbonat bersama dengan sekresi gel mukus yang berperan sebagai barier
dari asam lumen dan pepsin. Fungsi
motorik lambung terdiri atas penyimpanan makanan sampai makanan dapat
diproses dalam duodenum, pencampuran makanan dengan asam lambung, hingga
membentuk suatu kimus, dan pengosongan makanan dari lambung ke dalam
usus dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam
usus halus (Prince, 2005).
Lambung
akan mensekresikan asam klorida (HCl) atau asam lambung dan enzim untuk
mencerna makanan. Lambung memiliki motilitas khusus untuk gerakan
pencampuran makanan yang dicerna dan cairan lambung, untuk membentuk cairan padat yang dinamakan kimus kemudian
dikosongkan ke duodenum. Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan
sekitar 2500 ml cairan lambung yang mengandung berbagai zat, diantaranya
adalah HCl dan pepsinogen. HCl membunuh sebagian
besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan pH
yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein, serta merangsang empedu
dan cairan pankreas. Asam lambung cukup pekat untuk menyebabkan
kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak
mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung
mengandung mukus, yang merupakan faktor perlindungan lambung (Ganong, 2001).
Sekresi
asam lambung dipengaruhi oleh kerja saraf dan hormon. Sistem saraf yang
bekerja yatu saraf pusat dan saraf otonom, yakni saraf simpatis dan
parasimpatis. Adapun hormon yang bekerja antara lain adalah hormon
gastrin, asetilkolin, dan histamin. Terdapat tiga fase yang menyebabkan
sekresi asam lambung. Pertama, fase sefalik, sekresi asam lambung
terjadi meskipun makanan belum masuk lambung, akibat memikirkan atau
merasakan makanan. Kedua, fase gastrik, ketika makanan masuk lambung
akan merangsang mekanisme sekresi asam lambung yang berlangsung selama
beberapa jam, selama makanan masih berada di dalam lambung. Ketiga, fase
intestinal, proses sekresi asam lambung terjadi ketika makanan mengenai
mukosa usus. Produksi asam lambung akan tetap berlangsung meskipun
dalam kondisi tidur. Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi
sekresi asam lambung karena kondisi tersebut memudahkan lambung
mengenali waktu makan sehingga produksi lambung terkontrol (Ganong, 2001).
Manifestasi Klinis
Sindrom
dispepsia berupa berupa nyeri epigastrium, mual, kembung dan muntah
merupakan salah satu keluhan yang sering muncul. Ditemukan pula
perdarahan saluran cerna berupa hematemesis dan melena, kemudian
disesuaikan dengan tanda-tanda anemia pasca perdarahan. Biasanya, jika
dilakukan anamnesis lebih dalam, tanpa riwayat penggunaan obat-obatan
atau bahan kimia tertentu (Suyono, 2001).
Ulserasi superfisial dapat
terjadi dan dapat menimbulkan hemoragi, ketidaknyamanan abdomen (dengan
sakit kepala, mual dan anoreksia) dan dapat terjadi muntah, serta
cegukan beberapa pasien adalah asimtomatik, kolik dan diare dapat
terjadi jika makanan pengiritasi tidak dimuntahkan, tetapi jika sudah
mencapai usus besar, pasien biasanya sembuh kira-kira dalam sehari
meskipun nafsu makan kurang atau menurun selama 2 sampai 3 hari.
Komplikasi Gastritis
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), komplikasi
yang timbul pada gastritis, yaitu perdarahan saluran cerna bagian atas
(SCBA) berupa hematemesis dan melena, berakhir dengan syok hemoragik,
terjadi ulkus, kalau prosesnya hebat dan jarang terjadi perforasi.
Jika
dibiarkan tidak terawat, gastritis akan dapat menyebabkan ulkus
peptikum dan pendarahan pada lambung. Beberapa bentuk gastritis kronis
dapat meningkatkan resiko kanker lambung, terutama jika terjadi
penipisan secara terus menerus pada dinding lambung dan perubahan pada
sel-sel di dinding lambung (Prince, 2005).
Kebanyakan kanker lambung adalah adenocarcinoma, yang bermula pada sel-sel kelenjar dalam mukosa. Adenocarcinoma tipe 1 biasanya terjadi akibat infeksi Helicobacter pylori. Kanker jenis lain yang terkait dengan infeksi akibat Helicobacter pylori adalah MALT (mucosa associated lyphoid tissue) lymphomas,
kanker ini berkembang secara perlahan pada jaringan sistem kekebalan
pada dinding lambung. Kanker jenis ini dapat disembuhkan bila ditemukan
pada tahap awal .
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosa gastritis, dilakukan dengan berbagai macam tes, diantaranya :
1. Tes Darah
Tes darah untuk melihat adanya antibodi terhadap serangan Helicobacter pylori. Hasil test yang positif menunjukkan bahwa seseorang pernah mengalami kontak dengan bakteri Helicobacter pylori dalam hidupnya, tetapi keadaan tersebut bukan berarti seseorang telah terinfeksi Helicobacter pylori. Tes darah juga dapat digunakan untuk mengecek terjadinya anemia yang mungkin saja disebabkan oleh perdarahan karena gastritis (Anonim, 2010).
2. Breath Test
Test ini menggunakan tinja sebagai sampel dan ditujukan untuk mengetahui apakah ada infeksi Helicobacter pylori dalam tubuh seseorang.
3. Stool Test
Uji ini digunakan untuk mengetahui adanya Helicobacter pylori dalam sampel tinja seseorang. Hasil test yang positif menunjukkan orang tersebut terinfeksi Helicobacter pylori. Biasanya dokter juga menguji adanya darah dalam tinja yang menandakan adanya perdarahan dalam lambung karena gastritis.
4. Rontgen
Test
ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang dapat
dilihat dengan sinar X. Biasanya akan diminta menelan cairan barium
terlebih dahulu sebelum dilakukan rontgen. Cairan ini akan melapisi
saluran cerna dan akan terlihat lebih jelas ketika di rontgen.
5. Endoskopi
Test
ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang mungkin
tidak dapat dilihat dengan sinar X. Tes ini dilakukan dengan cara
memasukkan sebuah selang kecil yang fleksibel (endoskop) melalui mulut
dan masuk ke dalam esophagus, lambung dan bagian atas usus kecil.
Tenggorokan akan terlebih dahulu dimatirasakan (anestesi), sebelum
endoskop dimasukkan untuk memastikan pasien merasa nyaman menjalani tes
ini. Jika ada jaringan dalam saluran cerna yang terlihat mencurigakan,
dokter akan mengambil sedikit sampel (biopsy) dari jaringan tersebut.
Sampel itu kemudian akan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. Tes ini
memakan waktu kurang lebih 20 sampai 30 menit. Pasien biasanya tidak
langsung disuruh pulang ketika tes ini selesai, tetapi harus menunggu
sampai efek dari anestesi menghilang, kurang lebih satu atau dua jam.
Hampir tidak ada resiko akibat tes ini. Komplikasi yang sering terjadi
adalah rasa tidak nyaman pada tenggorokan akibat menelan endoskop (Anonim,2010).
0 komentar:
Posting Komentar