Minggu, 29 Mei 2011

Hipertensi

Hipertensi

Hipertensi adalah adanya peningkatan tekanan darah arteri yang persisten pada 2-3 kali pemeriksaan. The Seventh Joint National Committee (JNC 7) mengklasifikasikan tekanan darah pada orang dewasa sebagai berikut:
1. Normal    : < 120 mmHg (sistolik) dan < 80 mmHg (diastolik)
2. Prehipertensi   : 120-139 mmgHg / 80-89 mmHg
3. Hipertensi Tahap 1    : 140-159 mmHg / 90-99 mmHg
4. Hipertensi Tahap 2    : ≥ 160 mmHg / ≥ 100 mmHg

ETIOLOGI
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi 2:
a. Hipertensi Primer
Merupakan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya, tingkat kejadiannya lebih dari 90% pasien. Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi tersebut. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan pengembangan hipertensi primer, termasuk:
  • Gangguan patologis pada sistem saraf pusat (CNS), sistem saraf otonom, reseptor adrenergik, atau baroreseptor.
  • Abnormalitas pada renal atau jaringan autoregulator yang mengatur proses ekskresi natrium, volume plasma, dan konstriksi alteriolar.
  • Abnormalitas humoral, termasuk renin-angiotensin-aldosteron sistem (RAS), hormon natriuretik, atau hiperinsulinemia.
  • Defisiensi pada sintesis setempat substan vasodilator pada endotel vaskular, seperti prostasiklin, bradikinin, dan nitric oxide, atau peningkatan produksi substan vasokonstriktor seperti angiotensin II dan endotelin I.
  • Asupan natrium yang tinggi dan peningkatan hormon natriuretik di sirkulasi yang menginhibisi transpor natrium intraseluler, sehingga reaktivitas vaskular meningkat dan tekanan darah naik.
  • Peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler, sehingga fungsi otot polos vaskular berubah dan terjadi peningkatan tahanan vaskular perifer.
b. Hipertensi Sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit atau obat-obat tertentu.
Penyakit dan kondisi yang dapat meningkatkan tekanan darah diantaranya yaitu: penyakit ginjal kronis, penyakit renovaskular, hiperaldosteronisme, hipertiroid, hiperparatiroid, Sindrom Cushing, Pheochromocytoma, kerusakan aorta, dan kehamilan.
Obat-obatan yang dapat meningkatkan tekanan darah antara lain: Kortikosteroid, ACTH, Estrogen, NSAID, cox-2 inhibitor, Amphetamin, Siklosporin, tacrolimus, Eritropoetin, Sibutramin, Antidepresan, dan Venlafaxine
Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati kondisi yang menyertai sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder.
FAKTOR RESIKO
1.  Usia > 55 thn utk laki2, > 65 thn utk wanita
2.  Diabetes Mellitus
3.  Dislipidemia
4.  Mikroalbuminuria
5.  Riwayat keluarga
6.  Obesitas
7.  Kurang aktivitas fisik
8.  Merokok
MANIFESTASI KLINIK
Hipertensi primer yang sederhana umumnya tidak disertai gejala (asimptomatik). Hipertensi sekunder dapat disertai gejala suatu penyakit, misalnya untuk penderita Sindrom Cushing dapat terjadi peningkatan berat badan, poliuria, edema, irregular menstruasi, jerawat, atau kelelahan otot.
TUJUAN TERAPI
Yaitu untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Target nilai tekanan darahnya adalah < 140/90 mmHg untuk hipertensi non komplikasi, dan < 130/80 mmHg untuk hipertensi dengan komplikasi.
TERAPI NON FARMAKOLOGI
Dengan melakukan modifikasi gaya hidup, yaitu:
  1. Mengurangi berat badan jika terjadi kelebihan berat badan.
  2. Melakukan diet makanan yang diadopsi dari DASH (Dietary Approaches to Stop Hipertension).
  3. Mengurangi asupan natrium sampai ≤ 2,4 g/hari (6 g/hari NaCl)
  4. Melakukan aktivitas fisik, seperti aerobik atau berolahraga secara teratur.
  5. Mengurangi konsumsi alkohol.
  6. Menghentikan kebiasaan merokok.
TERAPI FARMAKOLOGI
Ada sembilan kelas obat anti hipertensi. Lima diantaranya merupakan agen primer (pilihan pertama), yaitu Diuretik, β blocker, ACEI (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor), ARB (Angiotensin Reseptor II Blocker), dan CCB (Calcium Channel Blocker). Sedangkan 4 lainnya merupakan alternatif yang dapat digunakan setelah penderita mendapatkan obat pilihan pertama, yaitu α blocker, agonis α-2 sentral, inhibitor adrenergik, dan vasodilator.
Pemilihan obat pada terapi hipertensi tergantung pada derajat peningkatan tekanan darah dan ada tidaknya komplikasi.
1. Diuretik
Bekerja dengan cara menyebabkan diuresis, meningkatkan ekskresi Na, Cl, dan air sehingga volume plasma berkurang dan terjadi penurunan curah jantung (cardiac output) yang pada akhirnya menyebabkan penurunan tekanan darah. Obat-obatan diuretik diberikan pada pagi hari untuk single dose, atau pada pagi dan sore hari untuk 2 kali pemberian. Hal ini untuk mencegah terjadinya nokturia diuresis.
Ada 4 kelompok diuretik, yaitu
  1. Diuretik Tiazid : HCT (hidroklorotiazid), Klortalidon, Indapamid, dan Metolazone.
  2. Loop diuretik : Furosemide, Bumetanide, dan Torsemide.
  3. Diuretik hemat kalium : Amilorid, Triamteren. Dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien penyakit ginjal kronik, diabetes dan terapi kombinasi dengan ACEI, ARB, AINS, atau suplemen kalium.
  4. Antagonis Aldosteron, juga termasuk diuretik hemat kalium : Spironolakton, Eplerenone. Spironolakton dapat menyebabkan ginekomastia pada 10% pasien.
2. β blocker
Mekanisme kerjanya tidak diketahui tetapi dapat melibatkan menurunnya curah jantung melalui kronotropik negatif dan efek inotropik jantung dan inhibisi pelepasan renin dari ginjal.
β blocker dibedakan menjadi 4 kelompok berdasarkan sifatnya, yaitu
  1. Kardioselektif, bekerja selektif pada reseptor β1 di jantung: Atenolol, Bisoprolol, Metoprolol, dan Betaxolol.
  2. Nonselektif, bekerja pada reseptor β1 dan β2 : Nadolol, Propanolol, Timolol, dan Sotalol. Tidak boleh digunakan pada pasien asma atau bronkhitis.
  3. Memiliki Aktivitas Simpatomimetik Intrinsik: Acebutolol, Carteolol, Penbutolol, dan Pindolol.
  4. Campuran α dan β blocker : Karvedilol, Labetolol.
Efek samping blokade reseptor β pada miokardium adalah bradikardi, ketidaknormalan konduksi atrioventrikular (AV), dan gagal jantung akut. Penghentian β blocker secara cepat dapat menyebabkan angina tidak stabil, infark miokard, dan bahkan kematian pada pasien-pasien dengan resiko tinggi penyakit koroner.Karena itu dosis harus diturunkan perlahan-lahan selama 1-2 minggu sebelum penghentian.
3. ACEI (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor)
ACEI menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, dimana angiotensin II adalah vasokronstrikstor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron. ACEI juga memblok degradasi bradikinin dan merangsang sintesa zat-zat yang menyebabkan vasodilatasi, termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin.
Yang termasuk dalam kelompok ACEI adalah: Kaptopril, Benazepril, Delapril, Enalapril, Fosinopril, Lisinopril, Perindopril, Kuainapril, Ramipril, dan Ilazapril.
Penggunaan kaptopril sebaiknya pada saat perut kosong, karena absorbsinya dapat berkurang 30-40% jika diberikan bersama makanan.
Efek samping pada penggunaan ACEI yaitu :batuk kering (pada 20% pasien), hiperkalemia (monitoring), neutropenia, agranulosit, glomerulonefritis, proteinuria, dan gangguan fungsi ginjal. ACEI dikontaindikasikan pada wanita hamil dan pasien dengan riwayat angioedema.
4. ARB (Angiotensin Reseptor II Blocker)
ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensin II tipe 1 (ATI) yang memediasi efek angiotensin II yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan kontriksi arteriol dari glomerulus. ARB tidak memblok reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2). Jadi efek yang menguntungkan dari stimulus AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan menggunakan ARB.
Yang termasuk kelompok ARB adalah: Kandesartan, Eprosartan, Irbesartan, Losartan, Olmesartan, Telmisartan, dan Valsartan.
Efek sampingnnya adalah insufisiensi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi ortostatik. ARB tidak menyebabkan batuk seperti ACEI, karena tidak mencegah pemecahan bradikinin. Tidak boleh digunakan pada wanita hamil.
5. CCB (Calcium Channel Blocker)
CCB bekerja dengan menghambat influx kalsium sepanjang membran sel. Ada dua tipe kanal kalsium: high voltage channel (tipe L) dan low voltage channel (tipe T). CCB yang ada hanya menghambat kanal tipe L, yang menyebabkan vasodilatasi koroner dan perifer.
Ada dua subkelas CCB, yaitu:
  1. Dihidropiridin: Amlopidin, Felopidin, Isradipin, Lekardipin, Nicardipin, Nifedipin, dan Nisolpidin. Efek samping dari dihidropiridin adalah pusing, flushing, sakit kepala, hiperplasia gusi, edema perifer, perubahan mood, dan gangguan gastrointestinal. Nifedipin dapat meningkatkan resiko kardiovaskular.
  2. Non dihidropiridin: Diltiazem dan Verapamil. Menurunkan denyut jantung dan memperlambat konduksi nodal atriventrikular. Efek sampingnya adalah anorexia, nausea, edema perifer, dan hipotensi. Verapamil menyebabkan konstipasi pada 7% pasien
6. α blocker
Yang termasuk α blocker adalah Doxazosin, Prazosin, dan Terazosin.
Bekerja pada pembuluh darah perifer dan menghambat pengambilan katekolamin pada sel otot halus, menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah.
Efek samping berat yang mungkin terjadi adalah fenomena dosis pertama yang ditandai dengan pusing sementara atau pingsan, palpitasi, dan bahkan sinkope 1-3 jam setelah dosis pertama. Untuk mengatasinya, dilakukan pemberian dosis awal dan peningkatan dosis saat mau tidur. Hipotensi ortostatik dan pusing dapat berlanjut  dengan pemberian terus-menerus. α blocker melewati sawar darah-otak dan dapat menyebabkan efek samping pada CNS seperti kehilangan tanaga, letih, dan depresi. Penggunaan dosis tinggi atau penggunaan kronik dosis rendah dapat meretensi air dan natrium, sehingga lebih efektif jika digunakan bersama diuretik. Penggunaannya harus hati-hati pada pasien lansia.
7. Agonis α-2 sentral
Klonidin dan Metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang reseptor adrenergik di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatetik dari pusat vasomotor di otak dan meningkatkan tonus vagal. Penurunan aktivitas simpatetik, bersamaan dengan meningkatnya aktivitas parasimpatetik, dapat menurunkan denyut jantung, cardiac output, total peripheral resistance, aktivitas plasma rennin, dan reflex baroreseptor.
Efek sampingnya adalah sedasi dan mulut kering. Penggunaan kronis dapat menyebabkan retensi natrium.
Penghentian agonis α-2 sentral secara tiba-tiba dapat menyebabkan rebound hypertension. Efek ini diduga disebabkan oleh meningkatnya pelepasan norepinefrin sewaktu klonidin diberhentikan tiba-tiba.
8. Inhibitor adrenergik
Reserpin menurunkan tekanan darah dengan mengosongkan norepinefrin dari ujung saraf simpatetik dan memblok perjalanan norepinefrin ke granul penyimpanannya. Reserpin juga mengosongkan katekolamin dari otak dan miokardium, mengakibatkan sedasi, depresi, dan berkurangnya curah jantung.
Efek sampingnya adalah depresi (pada dosis > 0,25 mg/hari), hidung tersumbat, meningkatnya sekresi asam lambung, diare, dan bradikardi. Dapat menyebabkan resistensi natrium yang signifikan sehingga harus dikombinasi dengan diuretik tiazid.
9. Vasodilator
Efek antihipertensi dari hidralazin dan minoksidil disebabkan oleh relaksasi langsung otot polos arteriolar tetapi tidak menyebabkan vasodilatasi ke pembuluh darah vena. Kedua obat juga menyebabkan penurunan tekanan perfusi yang kuat yang mengaktifkan refleks baroreseptor. Pengaktifan dari baroreseptor menyebabkan meningkatnya aliran simpatetik, sehingga meningkatkan denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan renin. Akibatnya terjadi takifilaksis, efek hipotensi akan hilang dengan pemakaian seterusnya. Efek ini dapat diatasi dengan penggunaan bersama β blocker atau diuretik.
ALGORITMA TERAPI FARMAKOLOGI

SUMBER
Pharmacoterapy Dipiro 6th Edition
ISO Farmakoterapi 2008

0 komentar:

Posting Komentar

Resources

Search