Minggu, 29 Mei 2011

Renungan ayah

OH AYAH.............. 


Setidaknya untuk suatu waktu tertentu, kita harus mengenang kembali ayah kita. Terlepas ayah kita sudah wafat ataukah masih sehat, sejatinya ayah kita selalu ada, selamanya. Bila sudah tidak ada secara fisik, masih ada jejak keberadaannya. Menitis pada wujud kita. Sebagian tersalin pada wajah kita yang begitu mirip, atau perangainya yang kita serupai. Like father like son. Pasti ada yang bisa kita jadikan alasan untuk merasakan ayah kita selalu ada.


Maka menghadirkan kembali kenangan akan ayah tercinta seharusnya bisa dilakkan oleh semua kita. Siapapun kita, seperti apapun ayah kita, dan di manapun kini ayah kita berada. Sejak ayah kita mengambil takdirnya untuk menjadi ayah, ia pasti tahu bahwa kewajibannya sebagai ayah jauh lebih banyak dari apa yang mungkin bisa ia harapkan dari anak-anaknya. Kebanyakan dari harapan itu pun bukan suatu pengembalian yang ingin ia minta dari kita. Bukan. Tapi apa-apa yang terbaik untuk kita juga. Maka ibarat bertransaksi, ayah membelanjakan begitu banyak modal untuk pertumbuhan kita, tapi begitu ada manfaat yang kita dapatkan dari pertumbuhan itu, maka ayah pun menyerahkannya untuk kita lagi. Seperti seseorang yang membeli berbagai barang berharga, setelah dibeli barang itu pun diberikan lagi kepada penjualnya beserta uangnya.

Menjalani semua kewajiban sebagai ayah seperti menyemai tanaman yang tak pernah tahu kapan dan seperti apa berbuahnya. Kita anak-anaknya adalah makhluk yang terus berubah, berkembang tapi juga labil, ranum mengbanggakan tapi juga sering menjengkelkan. Ibu kita mengandung sembilan bulan untuk menunggu kelahiran kita dengan bertaruh nyawa, lalu ayah kita menunggu belasan tahun sejak kita diberinya nama untuk bisa dilihat sebagai manusia dewasa yang hidup dengan sepenuh kesadaran sebagai orang. Mengantarkan kita lahir ke muka bumi ini pun lebih dari cukup untuk dikenang sebagai kebajikan. Kita pasti tetap beruntung punya ayah. Terlebih bagi kita yang menjadi satu dari ratusan ribu atau jutaan orang yang mendapati ayahnya adalah sebaik-baik ayah.

Mengenang ayah dalam garis ketersambungan kita dengan hidup tidaklah mudah. Sebab kita anak-anaknya, sering gagal memahami peran ayah pada keseluruhannya. Kita menghadirkan ayah kita hanya pada beberapa potong dari seri kehidupan kita saat kita memerlukan uang, misalnya. Untuk biaya kuliah kita dengan lepas memintanya sebagai jatah. Tapi ketika kita harus memulai hidup sendiri, kita tetap meminta uang. Entah menyewa kontrakan, atau menambah modal usaha kecil-kecilan. Kali ini kita bilang ke ayah bahwa kita meminjam. Tapi seiring waktu kita tak juga mengembalikan. Setiap kali kita bilang ke ayah bahwa kita belum punya uan untuk membayar hutang, ia pasti hanya tersenyum. Ia pun merelakan begitu saja.

Ayah hanya kita hadirkan ketika kita harus membuat keputusan besar dalam hidup. Meski tak jarang dan tanpa sadar, kita ingin menjadikan ayah pendukung keputusan besar itu, agar kelak bila keputusan itu salah atau gagal, kita bisa membagi rasa bersalah dengan ayah. Dan, lucunya, bila kegagalan itu benar-benar terjadi, ayah kita pun dengan rela menerima pembagian rasa bersalah itu. Lalu kita pun merasakan suasana batin yang lebih ringan. Tidak semua tekanan tersesak di dada kita. Sebab ada ayah kita yang turut mengambil beban.

Ayah kita memberikan seluruh hidupnya untuk kita, tapi kita membagi sangat sedikit untuk ayah kita. Ayah kita mengorbankan seluruh dirinya. Kita anak-anaknya, membebani pikiran ayah kita, sepanjang waktu. Tapi pikiran kita hanya sesekali waktu melintaskan kehadiran ayah kita.

Tanpa kita tahu, tanpa kita sadari, sejujurnya begitu pendek saat-saat ayah kita benar-benar merasakan sebagai ayah dalam pengakuan nyata kita. Namun, ayah kita tidak berhenti memberi untuk kita apa-apa saja yang ia bisa beri. Bila situasi semakin berat, ayah kita akan dengan tegar mengkonversi semua keterbatasan dan ketidakpedulian anak-anaknya dengan sikap penerimaan yang tulus.

Dikisahkan nyata oleh tim respondan. Saat ayahnya meninggal ia berusaha tegar dan tidak menangis. Dalam sakitnya yang berbilang tahun, ia mencoba merawatnya. Ketika temannya berta'ziah, teman itu pun berkata, "Tapi sudah puas kan berbaktinya?" Temannya melihat bahwa lelaki itu telah mencoba merawat ayahnya hingga akhir hayat. Begitu temannya mengatakan kalimat itu, lelaki itu lari ke kamar dan menangis panjang. Ia bisa tegar untuk kehilangan ayah tercinta. Tapi ia tak akan bisa merasa telah puas berbakti pada ayahnya. "Seberapa pun yang telah kita lakukan, tidak ada kata puas untuk berbakti pada orang tua," kenangnya pada Tarbawi.

Ron Kesicki, begitu terguncang mendapati ayahnya meninggal. Ayahnya terkena serangan jantung di usia 62 tahun. Untuk beberapa lama ia sangat-sangat berduka. Istrinya menasehatinya untuk datang ke psikolog. Tapi ia menolak. Sapai akhirnya ia coba-coba menuruti saran istrinya. Oleh sang terapis, hanya disampaikan nasehat, "Apa yang engkau ingin katakan untuk ayahmu sekiranya ia hadir bersama kita di ruangan ini?"

Ron pun terhenyak, seketika ia mengatakan, "Ayah, sungguh aku rindu padamu. Aku sangat mencintaimu. Aku tahu bahwa hubungan kita sangat baik. Aku tahu bahwa hubungan kita sangat baik. Aku tahu bahwa engkau sangat tahu seberapa besar cintaku padamu. Kini aku hanya ingin mengucapkannya lebih sering lagi."

Sesudah itu, Ron mendedikasikan cintanya kepada sang ayah dengan cara mengajak siapapun di seluruh dunia, untuk menuliskan kerinduan mereka kepada ayah-ayah mereka yang telah pergi. I Miss My Dad, itulah nama yang ia pakai untuk memoderatori orang-orang yang ingin berbagi tentang kenangan akan ayah tercinta. Ia pun dengan cepat mendapat teman. Ratusan email dikirim kepadanya oleh orang-orang sepertinya. Orang-orang yang kehilangan ayah dan mencoba menuliskan rindu pada ayah mereka tercinta. Surat-surat itu sangat menggugah. Berbagai suasana batin tertumpah, dari anak-anak yang mengenang kembali ayah mereka. Ron pun membagi setiap seratus email dalam satu kelompok.

Minimal sekali dalam hidupnya, ayah kita pasti pernah menangis untuk kita. Tapi pernahkah kita menitikkan air mata untuk semua kebaikan ayah kepada kita yang tak bisa kita balas? Sampai sejauh ini pun, saat ayah kita semakin tampak lelah dan tua, atau bahkan telah pergi untuk selamanya, mungkin kita masih juga belum menyelami lebih jauh isi hati dan perasaan ayah kita. Dengan jadwal hidup kita yang semakin rutin, kita tak pernah berhasil membuat kunjungan yang berkelas untuk ayah kita. Padahal untuk perjalanan yang lain kita begitu sempurna menyiapkan dan menjalaninya. Waktu selalu pendek. Terlalu sedikit yang ktia bagi. Padahal ayah kita ingin banyak mendengar cerita dari kita. Ia mungkin tak mau secara khusus meminta kita. Rasanya terlalu formal, seperti atasan meminta laporan. Seharusnya sesekali secara khusus kita duduk bersama ayah untuk waktu yang lama, khusus untuk menceritakan apa saja tentang diri kita. Atau bertanya tentang apa harapan-harapannya dari kita. Pasti kita akan dapati raut muka dan air wajahnya berbeda. Pasti kenangan kita akan ayah tercinta terasa beda.

"Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya".
(Qur'an Surah. Al Isra’ : 23)

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu Bapaknya,
Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah
dan menyapihnya dalam dua tahun. Maka bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada kedua orang Ibu Bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu."
(Qur'an Surah. Luqman : 14)

0 komentar:

Posting Komentar

Resources

Search